Meski sudah di bawah pengelolaan provinsi, namun SMA Negeri 3 Salatiga tetap aktif dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah Kota Salatiga. Salah satunya adalah keikutsertaan SMA 3 dalam Sarasehan Salatiga dalam Lintasan Sejarah Nusantara pada Selasa, 26 Juli 22 di Pendopo Pakuwon Kompleks Pemkot Salatiga. Sarasehan ini merupakan rangkaian kegiatan memeringati hari jadi Kota Salatiga yang ke-1272. Ini berarti Salatiga menjadi kota tertua nomor dua setelah kota Palembang.
Tampak hadir dalam kegiatan itu, Plh. Walikota Salatiga Sinung Nugroho Rahmadi, Ketua DPRD Dance Ishak Palit, M.Si, Forkopimda, Kepala Kejaksaan, Kapolres, seluruh kepala SKPD, dan pemerhati budaya di Kota Salatiga.
Dalam pengantarnya, Sinung mengatakan, Kota Salatiga meski kecil namun memiliki banyak predikat. Di antaranya; kota toleransi, kota pelajar, kota dingin, kota kreatif, Indonesia mini. Bahkan pelaksana harian walikota itu sempat memunculkan julukan baru untuk kota Salatiga yaitu kota romansa cinta.
Sarasehan yang disiarkan langsung TA TV itu menghadirkan dua narasumber, yaitu peneliti naskah jawa kuno dari FIB-UGM Rendra Agusta dan dosen sejarah UKSW Tri Widiarto.
Dalam paparannya, Rendra Agusta, menjelaskan asal-usul nama Salatiga dari beberapa versi. Versi pertama menurut versi sejarah yang berasal dari Prasasti Plumpungan. Di situ dikatakan bahwa prasasti tersebut dituliskan pada 31 Asadha 674 atau bertepatan hari Jumat 24 Juli 674. Tanggal inilah lalu yang dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan lahir kota Salatiga.
Dalam prasasti itu diterangkan bahwa Salatiga sudah menjadi wilayah perdikan, wilayah otonom. Masyarakatnya digambarkan hidup rukun dan makmur yang memuja Dewi Trisala. Dari prasasti itu pula tertera kalimat yang diadopsi menjadi semacam tagline untuk Kota Salatiga yaitu: Srir astu swasti prajabyah yang berarti semoga sejahtera, selamatlah rakyat sekalian.
Adapun dalam manuskrip kumo, menurut Rendra, kata “salatiga” sudah tertera. Pada 1628 di masa Sultan Agung istilah “salatiga” sudah ada di naskah. Kata “Salatiga” ini kembali ditemukan dalam Babad Giyanti 205:16-18. Di sana tertera kata: Salatigane.
Kata Salatiga kembali ditemukan dalam Perjanjian Salatiga (17 Maret 1757) untuk mengakhiri konflik antara Raden Mas Said dengan Pakubuwono III.
Salatiga dalam Legenda
Sementara itu Tri Widiarto yang tampil usai Rendra lebih menjelaskan asal-usul Kota Salatiga dilihat dari legenda. Dia menjelaskan mendasarkan pada teologi sastra dengan mengambil manuskrip Babad Tanah Jawa dan Babad Demak. Salah satunya adalah legenda Salah Telu (1551).
Dalam legenda itu disebutkan saat Ki Ageng Pandanaran hendak ke Bayat mampir di wilayah Salatiga. Di sini Ki Ageng bertemu dengan pemuda di Desa Bugel yang bernama Sawonggrono. Ki Ageng lantas berdiskusi dengan pemuda itu tentang sangkan paraning dumadi (hakikat asal-usul manusia). Diskusi tersebut berlangsung di bawah pohon sawo. Sampai saat ini, menurut Tejo Sumanto dalam bukunya yang berjudul Pohon Terakhir, daerah tempat berdiskusi itu disebut Desa Sawo yang terletak di Desa Bugel.
Hal menarik lainnya adalah, Salatiga sudah berstatus Kotamadya pada tahun 1917 pada masa pendudukan Belanda. Ini berarti Salatiga menyandang sebutan kotamadya nomor dua setelah Kotamadya Madiun. Status ini menguntungkan bagi Salatiga karena Belanda membangun banyak gedung-gedung yang ikini menjadi cagar budaya.
Dalam sarasehan itu adal hal menarik yaitu adanya branding bagi Kota Salatiga. Hal ini perlu mengingat selama ini Salatiga sudah banyak memiliki sebutan. Hanya branding yang paling tepat untuk menggambarkan Salatiga agar lebih dapat membawa kemajuan Kota Salatiga di masa yang akan dating.
Selamat hari jadi Kota Salatiga ke-1272.
0 Komentar